Senin, 15 Februari 2010

Hanya Nasi dan Sepotong Bakwan

Menerobos masuk begitu saja, dengan langkah tak terdengar, tanpa salam atau kata lainnya, anak ini telah muncul di ruang kerjaku. Mirip makhluk halus dari negeri dongeng, yang dapat muncul tiba-tiba, mendadak ia telah berdiri tepat di sampingku, dan dengan berbinar-binar menatap layar komputerku.

Aku, yang tengah serius memeloti monitor, jadi agak terkejut, dan berpaling memandanginya. Sebaliknya, ia tidak memandangiku, namun tetap penuh antusias memandangi monitor.

“Itu apa?” tanyanya sambil menunjuk salah satu icon di komputer. Icon yang bergerak-gerak itu rupanya menarik perhatiannya. Begitu menariknya, sehingga setiap pagi, begitu tiba di sekolah , ia langsung menyempatkan diri, masuk ke ruang kerjaku yang bersebelahan dengan kelasnya.

Kelasnya memang menggunakan garasi yang menempel di rumahku. Sedangkan ruang kerjaku sebenarnya adalah ruang keluarga, yang aku sulap menjadi ruang kerja, dengan berbagai perlengkapan berteknologi tinggi.

Berbeda dengan anak lain yang tidak berani nyelonong begitu saja, Alif, sebut saja nama anak itu, memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar. Rasa ingin tahu itu mengalahkan rasa segan apalagi takut untuk menerobos batas-batas. Dalam hal ini, batas antara kelasnya dan ruang kerjaku.

Kali ini, karena agak santai, aku menyempatkan diri berakrab-akrab dengan anak kurus dan berkulit gelap ini.

“Alif tadi sud ah sarapan?”

“Sudah , ” jawabnya. Matanya masih melotot ke ar ah monitor.

“Pake apa?”

“Pake nasi, sama bakwan, ” jawabnya datar.

Aku tersenyum mendengar jawaban lugunya. Nasi dan bakwan? Syukurlah . Seleranya sederhana, dan tidak neko-neko. Bisa dibayangkan betapa repotnya jika Alif menjadi anak manja seperti iklan-iklan di televisi. Yang menolak minum susu dan makan roti yang penuh beraneka isi yang padat gizi. Yang hanya mau makan dan minum semaunya sendiri. Yang untuk membangkitkan selera makan dan minumnya harus dipancing dulu dengan beraneka vitamin yang mahal-mahal, atau susu yang katanya bisa menambah nafsu makan. Yah , untungnya Alif tidak seperti itu.

Orang tua Alif bukan jenis orang tua yang kelebihan duit, yang sering ‘kebingungan’ menghabiskan uang bulanan. Yang tidak cukup berlibur hanya di taman mini (taman mini maksudnya adalah taman berukuran mini yang berada di samping rumah , alias kebon). Bukan jenis orang tua yang sudah bosan pergi ke dunia fantasi (yang harga tiket sekeluarganya bisa untuk gaji satu bulan). Bukan pula jenis orang tua yang sanggup menghabiskan ratusan ribu untuk sekali makan di restoran mewah .



Orang tua Alif hanyalah sepasang tuna netra. Ayahnya nyaris buta total, sedang sang ibu memang tak bisa melihat sama sekali. Penghasilan mereka dari memijat, satu profesi khas dari orang-orang seperti mereka.

Alif kecil sering menjadi penuntun ibunya. Mereka sering terlihat ke mana-mana berdua. Alif menjadi mata bagi ibunya. Sedang sang ayah sering kali berada di musholla saat-saat lima waktu. Meski cuma ‘bersenjatakan’ tongkat, tak menghalanginya untuk menyambut panggilan azan.

Alif kecil yang pede ini mungkin mewarisi ke-pede-an orang tuanya. Orang tuanya memang pede, atau iffah . Meski tuna netra, mereka menolak tawaran beasiswa dari kami. Ada beberapa orang tua yang dhuafa secara ekonomi yang kami bebaskan dari biaya apapun. Biaya masuk, biaya bulanan, biaya kunjungan edukatif, dan biaya-biaya kecil lainnya yang lazim dipungut pihak sekolah untuk berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Alif termasuk yang kami proyeksikan untuk menerima beasiswa.

“Kata bapaknya, selama kita masih sanggup bayar, kita harus tetap bayar, ” demikian kata sang ibu, menolak tawaran bea siswa dari kami.

Kami tentu tak bisa memaksa. Namun kami tegaskan, jika suatu ketika ada kesulitan, jangan segan-segan menceritakan kepada kami. Dan mereka membuktikan bahwa mereka memang sanggup. Tabungan hariannya termasuk rutin sehingga berjumlah cukup besar.

Alif memang pede. Dia sepertinya tak peduli meski kedua orang tuanya tak bisa melihat. Dia tetap bermain bersama teman-temannya, sesekali berkelahi seperti anak-anak lain, dan merobos masuk ke ruang kerjaku hanya untuk menyapaku dan menatap layar monitor yang warna warni.

Aku sering khawatir dengan masa depannya. Jika di sini, di sekolah kami, kami dapat mendidiknya, mengawasinya, melindunginya jika perlu, namun selepas taman kanak-kanak nanti, tangan kami tak lagi mampu menjangkaunya. Tapi tentu ini jenis kekhawatiran yang naif. Allah tentu yang paling berhak dan paling mampu menjaganya. Allah Yang Maha Tahu tentu memiliki maksud tersembunyi dari semua ini. Tak ada karyaNya yang sia-sia, demikian Dia berfirman dalam kita suciNya.

Lagi pula, dengan segala kekurangan dan keterbatasan fisik mereka, apa pula hakku untuk merasa lebih baik dibanding mereka. Boleh jadi di mata All ah , mereka adalah makhluk-makhluk yang lebih mulia, mutiara-mutiara kehidupan yang mengajarkan ketabahan dan ke-qonaah -an.

Mereka mungkin lebih cemerlang di mata Allah , dibandingkan bapak-bapak terhormat para pejabat, yang ke mana-mana berseliweran dengan mobil mewah. Yang tetap nyaman berbelanja di super mall, sementara rakyat yang memilih mereka digusur di mana-mana.

Di sini, saat ini, saat menulis cerita ini, aku harus belajar merundukkan hati, menepis kesombongan diri.

Oleh Sabrul Jamil


Jumat, 05 Februari 2010

Airnya Yang Keruh, Atau Dispensernya Yang Berdebu ?

Apakah anda pernah berurusan dengan para pemakai “topi negatif” Apapun yang anda katakan, mereka selalu menanggapinya secara negatif. Sekalipun anda membicarakan sesuatu yang positif, dimata mereka tetap saja negatif. Bahkan, sekalipun mengakui bahwa gagasan anda mengandung sisi positif, mereka tetap berdiri disudut pandang negatif. Walhasil, mereka tidak mendapatkan manfaat apapun dari apa yang anda sampaikan.
Eh, jangan-jangan; yang memakai topi negatif itu kita sendiri, ya ?

Teman saya yang bekerja disebuah perusahaan air minum dalam kemasan bercerita tentang seorang pelanggan yang komplain dengan sangat garang. Sungguh seorang pelanggan yang sadar bahwa “Customer is King”. Didorong oleh dedikasi, teman saya mengunjungi rumah sang pelanggan untuk menindaklanjuti pengaduannya. Tahap pertama yang dilakukan oleh teman saya adalah memastikan bahwa air minum yang dibelinya memang asli keluaran perusahaannya. Ternyata asli. Jadi, seharusnya air itu mencerminkan komitmen perusahaan terhadap kualitas air yang dipasarkannya.

Tahap kedua, teman saya menginspeksi tata cara penanganan air tersebut. Termasuk diantaranya kondisi dispenser yang digunakan tuan rumah . Pemeriksaan tidak hanya dibagian yang mudah terlihat, melainkan juga bagian dalamnya. Dan dengan disaksikan oleh tuan rumah , pemeriksaan itu menghasilkan “beberapa telur kecoa” dan biangnya sekalian. Sekali lagi, salah satu sifat “lemah” manusia muncul. Jika air yang keluar dari dispenser kita kotor, kita berkesimpulan bahwa air yang kita beli kualitasnya buruk. Dan pihak yang harus bertanggungjawab adalah produser air itu

Dalam banyak situasi, kisah nyata yang diceritakan oleh teman saya itu sangat mirip dengan keseharian kita. Kita cenderung melihat “keluar” daripada “kedalam”. Makanya tidak heran jika ada saja orang-orang yang selalu memandang negatif terhadap pemikiran, gagasan dan pendapat orang lain. Dari sudut pandang ilmu perilaku, hal semacam itu disebut dengan istilah “judgemental”. Orang dengan sikap “judgemental” selalu terfokus kepada kelemahan pendapat orang lain. Sehingga, terhadap apapun yang dikatakan oleh orang lain; dia selalu berusaha menemukan sisi buruknya. Tidak peduli betapa baik dan mumpuninya gagasan seseorang, pasti ada celah untuk diserang. Lagipula, bukankah kita percaya pada dogma “tidak ada yang sempurna” ?

Lho, bukankah kemampuan seseorang untuk menemukan titik lemah adalah salah satu ciri kecerdasan? Itu betul. Karena kemampuan untuk berpikir kritis adalah tanda dari orang-orang yang IQ-nya tinggi. Namun, kita semua tahu, bahwa IQ bukanlah faktor penentu utama dalam mengukur kualitas diri seseorang. Karena, tanpa standar kecerdasan lain, seseorang dengan IQ tinggi hanya mirip mesin hitung. Sederhananya, “berpikir kritis” ada di daerah “kedigdayaan” IQ, sedangkan menemukan cara terbaik untuk “mengekspresikan” beda pendapat ada di wilayah “kearifan” EQ. Dan untuk membangun interaksi positif manusia butuh kedua-duanya. Makanya, orang-orang yang hanya cerdas IQ tapi rendah EQ, sering dilanda frustrasi karena kegagalannya untuk meraih penerimaan orang lain atas “kecanggihan” dirinya.

Tahap ketiga yang dilakukan oleh teman saya adalah menunjukkan cara membersihkan dispenser, dan tips merawatnya agar tetap bersih. Dan setelah dispenser itu dibersihkan, ternyata air yang keluar dari dalamnya juga bersih. Boleh jadi, bukan gagasan atau sumbernya yang bermasalah , melainkan kepala dan hati kita yang berfungsi seperti dispenser itu yang kurang bersih. Sehingga kalau kita bersedia membersihkannya, akan kita temukan kebenaran, dan kejernihan dari gagasan yang datang dari orang lain. Mengapa kita butuh itu ? Karena, orang paling cerdas sekalipun tidak mampu menemukan semua solusi. Sehingga, kesediaan kita untuk menerima gagasan dan masukan dari orang lain dengan hati yang bersih menjadi faktor penting. Apakah itu berarti kita harus selalu setuju dengan gagasan orang lain? Tidak juga. Namun, setidak-tidaknya kita bisa bertukar pikiran dengan itikad yang baik, melalui cara yang baik, untuk menemukan solusi terbaik.

Mengapa begitu? Karena, dari sudut pandang ilmu komunikasi, bukan hanya isi atau konten yang harus baik, melainkan juga bagaimana cara menyampaikannya. Jika menerapkan prinsip ini, mungkin kita bisa menghindari konflik yang terjadi karena salah satu pihak merasa benar sendiri. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bersedia membersihkan “dispenser” didalam dirinya sendiri.
Caranya ? Antara lain :
(1) Menghargai hak orang lain untuk menyampaikan gagasan,
(2) Membuka diri akan kemungkinan kebenaran pihak lain,
(3) Menenpuh jalan elegan saat berbeda pendapat, dan
(4) Jikapun tidak bisa mencapai kata sepakat, junjung tinggilah norma yang berlaku dimasyarakat.

Salam Sukses !

Kamis, 04 Februari 2010

5 Makanan Sehat Untuk Jantung

PENYAKIT jantung merupakan pembunuh nomor satu di Amerika. Di Indonesia, penyakit ini termasuk pembunuh terbesar kedua setelah kanker. Pola makan adalah poin pertama yang dapat mencegah timbulnya penyakit ini. Ada empat jenis makanan yang sudah terbukti memang bisa menekan risiko penyakit jantung, yaitu:

1. Bawang putih. Sejumlah penelitian telah membuktikan sejumlah manfaat dari bumbu masak ini. Konsumsi teratur bawang putih bisa menurunkan penyakit darah tinggi, mencegah penggumpalan darah (penyebab stroke), mencegah kenaikan gula darah dan kadar kolesterol. Bawang putih juga dikenal mampu menurunkan atau menetralisasi pengaruh buruk dari garam.

2. Ikan salmon. Gantikan burger penuh lemak favorit Anda dengan potongan ikan salmon. Meskipun terkadang lemak baik untuk tubuh, tapi sebagian kecil dari lemak (dari konsumsi 1/2 potong burger setiap hari) akan menyebabkan penyumbatan di pembuluh darah arteri yang bisa meningkatkan resiko penyakit jantung. Sebaliknya, salmon akan menurunkan resiko tersebut, karena salmon mengandung omega-3 yang bisa mencegah debaran jantung yang terlalu cepat, mencegah atau menurunkan tingkat pelebaran pembuluh darah arteri, menambah jumlah lemak baik dalam tubuh, dan mencegah kolesterol terpecah dan menjadi sumbatan di arteri.
3. Buah berry dan chery. Buah-buahan ini bermanfaat karena memiliki sejenis zat yang bisa mencegah kerusakan sel yang bisa menyebabkan pembekuan atau penyumbatan pembuluh darah. Kalau Anda sulit mendapatkan buah berry (misalnya strawberry atau blueberry) atau buah chery, maka simpan dalam jumlah yang banyak jika tidak musim. Agar tidak bosan, campurkan dalam bubur gandum atau oatmeal, atau gunakan perasan sarinya. Buah berry juga baik untuk memperbaiki detak jantung Anda.

4. Beras merah. Beras merah merupakan sumber magnesium. Mineral ini (magnesium) bisa memperlancar aliran pembuluh darah. Kekurangan magnesium bisa menyebabkan penyakit hipertensi, serangan jantung, dan gangguan irama jantung. Nasi merah tidak perlu dimasak terlalu lama. Hidangkan bersama sayuran yang dipanggang, dan ayam panggang.

5. Minuman cokelat. Hobi minum kopi? Coba gantikan dengan segelas cokelat hangat. Cokelat hangat kaya dengan antioksidan. Bahkan jumlahnya bisa lebih banyak 3 kali lipat dari teh hijau.


Sumber : Sripoku.com