Rabu, 09 Juni 2010

Niat, Ikhlas & Jujur


Bagi orang-orang yang hatinya telah diisi bias iman dan cahaya Al-Qur’an telah menyadari bahwa kebahagiaan tidak bisa dicapai kecuali dengan ilmu dan amalan ibadah. Demikian juga ia menyadari bahwa sebab-sebab timbulnya kebinasaan yakni :

a. Semua manusia akan binasa, kecuali orang-orang yang berilmu

b. Semua orang yang berilmu akan binasa kecuali orang yang mengamalkan ilmunya

c. Semua orang yang beramal akan binasa, kecuali orang-orang yang ikhlas (niat sebelum dan sesudah beramal)


Amal tanpa disertai niat akan terasa berat. Namun demikian, jika niat tanpa disertai ikhlas maka akan sia-sia. Karena pada hakikatnya ia beramal hanya untuk dirinya sendiri yakni memuaskan hawa-nafsunya.

Tugas pertama setiap hamba Allah yang menghendaki ketaatan kepada Allah ialah mengetahui niatnya terlebih dahulu, agar dia benar-benar mendapatkan ma’rifat (pemahaman yang benar), lalu meluruskannya dengan amal.

Tugas kedua setiap hamba Allah yang menghendaki keselamatan dari Allah ialah mengetahui segala amal yang diridhai oleh Allah dan yang dimurkai-Nya. Tentunya hal ini memerlukan perangkat yakni ilmu.

Dapatkah kita beramal agar diridhai oleh Allah, seandainya kita tidak mengetahui hakikat niat, ikhas dan kejujuran? Dapatkah kita ikhlas beramal tanpa meluruskan niat? Dapatkah ikhlas itu terwujud tanpa kejujuran?


Setelah ia memahami hakikat kejujuran dan ikhlas, yang keduanya merupakan sarana bagi hamba Allah untuk mendapatkan keselamatan. Maka ia akan selalu introspeksi dan meluruskan niatnya sebelum, pada saat dan sesudah beramal agar amalannya semata-mata hanya untuk mencari keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yakni dengan mengaplikasikan segala ketundukan dan ketaatan hanya kepada-Nya.

Hakikat Niat

Niat adalah dorongan jiwa dan kecenderungannya kepada sesuatu, bahwa sesuatu itu ada maslahatnya. Niat adalah dorongan hati yang hanya bisa diketahui oleh Allah semata. Contohnya: Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dia berkata;

“ Wahai Rasulullah, apa pendapat engkau tentang seseorang yang berperang karena didorong keberanian, berperang karena sifat ksatria, berperang karena riya’, manakah yang demikian itu yang berada di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah lah yang paling tinggi, maka dia berada di jalan Allah.” (HR. Bukhary – Muslim).
Contoh lain seperti orang berniat sholat malam, akan tetapi niatnya tidak terlaksana karena tertidur atau sebab lainnya. Maka ia mendapatkan kebaikan karena niatnya walaupun ia belum melakukan apa yang ia niatkan!

Oleh karena itu fungsi dan keutamaan niat adalah sebagai pembeda dalam beramal dan menambah pahala dan keutamaan. Orang yang cerdas dan sehat akalnya akan selalu melihat niatnya sebelum beramal agar dia mendapatkan keutamaan dan tidak menyia-nyiakan kesempatan meraih pahala.

Macam-macam bentuk amalan :

1. Kedurhakaan – niat tidak dapat merubah kedurhakaan menjadi kebaikan. Contoh orang mencuri dengan niat mencari nafkah untuk keluarganya atau membangun masjid dll. Hukuman bagi pencuri atau korupsi tetap berlaku baginya! Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wasallam. Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah shallallahu ‘alaihi wa salam) dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.

2. Ketaatan – amal ketaatan sangat tergantung dengan niat yang ”ikhlas” tentang dasar keabsahannya dan kelipatan keutamaannya. Seperti niat ”hijrah” mendapatkan wanita yang akan dikawinnya, maka hijrahnya tidak dinilai sebagai sebuah ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala walaupun ia berhijrah bersama-sama Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari Mekah ke Madinah. Oleh karena itu agar hijrahnya dinilai sebagai sebuah ketaatan kepada Allah maka niat hijrahnya harus IKHLAS hanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

3. Mubah – dengan niat untuk taqarub kepada Allah akan mendapatkan pahala. Contoh seperti orang yang makan dan minum yang diniatkan untuk taqarub kepada Allah agar ia mendapatkan kekuatan dan kesanggupan untuk melakukan kewajiban dan ibadah kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala.

Hakikat Ikhlas

Bisa digambarkan seperti sesuatu yang bersih dari segala noda. Ikhlas kebalikan dari isyrak (persekutuan). Orang yang ikhlas ialah yang tak mempunyai pendorong kecuali hanya untuk taqarub kepada Allah semata dan mendapatkan keridhaan-Nya semata. Dan hukum amal yang ternoda oleh riya’ tergantung sejauh mana noda tersebut mengotorinya.

Jujur, Hakikat dan Keutamaannya

Istilah jujur bisa berlaku untuk beberapa makna diantaranya :

1. Jujur dalam perkataan

2. Jujur dalam niat dan kehendak (ikhlas)

3. Jujur dalam hasrat dan pemenuhan hasrat itu

4. Jujur dalam amal

5. Jujur dalam berbagai kondisi keagamaan

MAKNA IKHLAS
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa makna Al-Ikhlas? Dan, bila seorang hamba menginginkan melalui ibadahnya sesuatu yang lain, apa hukumnya?


Jawaban:
Ikhlas kepada Allah Ta’ala maknanya seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dan mendapatkan keridhaan-Nya.

Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka disini perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut :

Pertama:
Dia memang ingin bertaqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik.

Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman:

“Artinya : Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu ; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang didalamnya dia mempersekutukan-Ku dengan sesuatu selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya berserta kesyirikan yang diperbuatnya” [1]

Kedua:
Dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan bertaqarrub kepada Allah ; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuai neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [Hud : 15-16]

Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama ; Bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi kedua ini, dia tidak bermaksud agar dirinya di puji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadap dirinya. Hanya saja ia berkehendak untuk mendapatkan keunutungan duniawi yakni harta dan kekuasaan.

Ketiga:
Dia bermaksud untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala, disamping itu ada tujuannya untuk duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya –disamping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya ; dia berhaji –disamping niat beibadah kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi-lokasi syi’ar haji (Al-Masya’ir) dan bertemu para jama’ah haji ; maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas jika seandainya yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, hanya saja konsekuensinya pahala lengkap yang seharusnya akan dia raih akan terlewatkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala mengenai para jama’ah haji.

“Artinya : Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabb-mu” [Al-Baqarah : 198]

Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya untuk dunia yang ia niatkan. Saya khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya.

“Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat ; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah” [At-Taubah : 58]

Di dalam Sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata : ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana bila ,-penj) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dia tidak mendapatkan pahala” Orang tadi mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala” [2]

Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut” [3]

Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah ; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga ; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selain-Nya juga.

Perbedaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara otomatis. Jadi, keinginannya tercapai melalui perbuatannya tersebut secara otomatis seakan-akan yang dia inginkan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.

Jika ada yang mengatakan, “Apa standarisasi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan beribadah?”

Jawabannya: standarisasinya bahwa dia tidak memperhatikan hal selain ibadah, maka hal itu tercapai atau tidak tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih dominan padanya adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya.

Yang jelas perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali. Indikasinya, bisa jadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai derajat sebagai orang yang ash-Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali.

Sebagian ulama Salaf berkata, “Tidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas”

Kita memohon kepada Allah untuk kami dan anda semua agar dianugrahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal.

[Kumpulan Fatwa dan Risalah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 1, hal. 98-100]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Albalad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]

Foote Note.

[1]. Shahih Muslim, kitab Az-Zuhd (2985)
[2]. Sunan Abu Daud kitab Al-Jihad (2516), Musnad Ahmad, Juz II, hal. 290, 366 tetapi di dalam sanadnya terdapat Yazid bin Mukriz, seorang yang tidak diketahui identitasnya (majhul) ; lihat juga anotasi dari Syaikh Ahmad Syakir terhadap Musnad Ahmad no. 7887
[3]. Shahih Al-Bukhari, kitab Bad’u Al-Wahyi (1), Shahih Muslim, kitab Al-Imarah (1907)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar