Senin, 23 Maret 2009

Uang Dihamburkan, Rakyat Diterlantarkan


Pesta demokrasi menguras trilyunan rupiah. Rakyat diminta menyukseskannya. Tapi rakyat gigit jari setelahnya. Demokrasi untuk siapa?

Seorang pengurus sebuah partai politik di sebuah kabupaten di Jawa Barat harus gigit jari. Ia tak bisa menjadi calon anggota legislatif. Pasalnya ia tak mampu membayar setoran ke partai sebagai syarat untuk duduk sebagai caleg kendati ia siang malam ikut membesarkan partainya. “Saya harus membayar Rp 20 juta. Dari mana uang itu saya dapatkan,” katanya.

Itu baru mendaftar lewat partainya, belum ketika sudah masuk dalam daftar calon tetap. Banyak dana lagi yang harus dikeluarkan untuk mempromosikan diri alias mencari popularitas. Mulai dari membuat spanduk, baliho, poster, kaos, bendera, memasang iklan di media massa, mendatangi daerah pemilihan, membayar tim sukses, membuat pesta/hajatan, mendatangkan petinggi partai, dan sebagainya. Walhasil, dana kebutuhan kam-panye ini tak cukup hanya Rp 20 juta per caleg.
Tak heran, bila ada caleg yang akhirnya terjun ke dunia kejahatan untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup. Dua caleg asal Lampung Selatan, Reza Fadillah dan Anshorullah dari Partai Pemuda Indonesia ditangkap polisi di Pelabuhan Bakauheni, Lampung, Ahad malam (22/2). Dua caleg bersama rekannya ini kedapatan membawa 12 kilogram ganja senilai Rp 26 juta. Ganja sebanyak itu akan dijual di Jakarta untuk modal kampanye. “Untuk membuat artibut kampanye dan sosialisasi,” kata Reza.

Di Jakarta, seorang caleg DPRD DKI pun ditangkap polisi. Hariman Siregar diduga mencuri motor di depan sebuah rumah makan bersama rekannya. Kepada polisi ia mengaku melakukan tindakan kriminal itu karena kesulitan ekonomi. Sedangkan di Riau, Chaterina (54) caleg DPRD Riau tertangkap membawa seribu butir ekstasi. Di Mojokerto, Jawa Timur, Kusryanto, caleg untuk DPRD Kabupaten Mojokerto ter-tangkap saat menjadi bandar judi.

“Demokrasi memang mahal,” kata Rizal Mallarangeng dalam sebuah kesempatan. Hanya mereka yang memiliki modal yang cukup yang bisa berperan. Sementara yang uangnya cekak, harus minggir dari percaturan. Namanya saja pesta demokrasi. Pesta butuh uang. Apalagi untuk duduk di singgasana Senayan.

Siapapun yang sudah telanjur menjadi caleg, mau tidak mau harus berkorban. Dalam pertemuan caleg Golkar di Jakarta (18/2) terungkap, entertainer senior Tantowi Yahya yang menjadi caleg untuk Dapil Sumsel 2 memerlukan dana sekitar Rp 1,5 milyar. Sedangkan Jeremy Tho-mas yang terdaftar untuk Dapil Riau sudah mengeluarkan dana sekitar Rp 450 juta. Pengeluaran itu paling besar untuk biaya iklan.

Yang menarik adalah cerita para mantan aktivis yang kini menjadi caleg. Dalam perbincangan di sebuah televisi awal Februari lalu, tanpa rasa malu seorang mantan aktivis mengata-kan sudah habis Rp 160 juta. Karena itu pula ia menunggak membayar SPP anaknya selama dua bulan. Ada juga yang mengaku telah mengeluarkan uang Rp 70 juta, padahal asetnya hanya Rp 50 juta. Malah ada yang terang-terangan menyatakan utangnya telah mencapai puluhan juta untuk dana kampanye.

Dibandingkan Pemilu 2004, pemilu kali ini memang agak sedikit beda. Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan calon terpilih tak lagi berdasarkan nomor urut tapi siapa yang suaranya paling banyak. Konsekuensinya, menurut seorang pengamat, dana kampanye akan naik hingga 10 kali lipat. Dana kampanye tak hanya dari partai, tapi para caleg harus merogoh kocek sendiri untuk bersaing dengan sesama rekan mereka separtai.

Wajar bila seorang caleg Golkar menyatakan bahwa seorang caleg DPR RI harus menyediakan dana minimal Rp 400 juta. Bisa dihitung berapa total pengeluaran semua caleg yang tercatat saat ini sebanyak 11.868 orang untuk DPR. Nilainya sekitar Rp 4,727 trilyun rupiah. Jangan kaget dulu, itu belum termasuk pengeluaran caleg dari 471 DPRD kabupaten/kota dan 33 DPRD provinsi. Yang jumlah calegnya mencapai puluhan ribu orang. Anda bisa perkirakan sendiri besarnya. Ada yang memperkirakan jumlahnya bisa sampai Rp 50 trilyun. Wow.....

Itupun baru untuk caleg. Pemilihan presiden/wakil presiden berbeda lagi. Sebagai bahan perbandingan, dalam Pilpres 2004 pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid melaporkan pengeluaran-nya Rp 86 milyar, Megawati Soekanoputri-Hasyim Muzadi Rp 84 milyar, SBY/JK Rp 74 milyar, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo Rp 16 milyar, serta pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar Rp 16 milyar. Total keseluruhannya Rp 276 miliar. Rizal Subiakto, CEO Hotline Advertising memperkirakan tahun 2008 dan 2009 iklan politik ini akan meningkat 3 sampai 4 kali lipat lebih besar dari tahun 2007. Sementara Irfan Wachid dari 25frame Indonesia Production mengatakan seorang politikus nasional akan menghabiskan Rp 5 - Rp 10 milyar/bulan untuk biaya poles diri, poles senyum di hadapan rakyat pemilihnya. Coba Anda hitung sendiri jumlahnya!

Penyelenggaraan pemilu 2009 sendiri membutuhkan biaya yang sangat besar. Anggaran formal yang telah disetujui DPR adalah Rp 14,1 trilyun, dengan rincian anggaran Rp 5,03 trilyun untuk pemilihan legislatif dan Rp 9,072 trilyun untuk pemilihan presiden.

Perilaku boros ini sebenarnya bukan made in Indonesia. Amerika Serikat sebagai adidaya telah mengekspor demokrasi beserta seluruh perangkatnya ke negeri ini. Lihat saja, delapan tahun silam, George W Bush menghabiskan US$ 36 juta untuk iklan televisi. Al Gore mengeluar-kan US$ 31 juta untuk hal yang sama. Biaya itu kini meningkat 50 persen dibandingkan dengan pemilu empat tahun sebelumnya. Untuk iklan televisi sehari saja, Obama menghabiskan dana US$ 3,3 juta (Rp 3,9 milyar). Tuh, apa bedanya dengan Indonesia?

Dana dari Mana?

Iklan politik menjadi primadona bagi para kontestan pemilihan umum untuk menjaring preferensi publik. Riset Nielsen menunjukkan, dana iklan politik tahun 2008 mencapai Rp 2,208 trilyun, meningkat 66 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai Rp 1,327 trilyun. Angka yang sesungguhnya pasti lebih besar karena riset ini belum menghitung belanja iklan politik untuk media radio, internet, serta media luar ruang. Dana iklan politik juga masih akan mengge-lembung karena menjelang pemilu legislatif April 2009, dapat dipastikan iklan politik semakin gencar menyapa publik.

Namun, gegap-gempita iklan politik selalu meninggalkan persoalan kompleks. Bagaimana transparansi dan akuntabilitas-nya? Publik tidak pernah tahu secara persis besaran dana iklan politik itu, dari mana asalnya, siapa saja donaturnya, dibelanjakan untuk apa saja, serta bagaimana konsekuensinya terhadap kinerja pemerintahan yang baru nanti. Pengalaman Pemilu 2004 menunjukkan hal itu.

Inu Kencana, mantan dosen Institut Pemerintahan Dalam Ne-geri (IPDN) menjelaskan paling tidak ada dua model datangnya dana bagi kampanye ini. Pertama, caleg itu orang kaya sehingga mampu membiayai dirinya sen-diri. Kedua, caleg yang dibiayai oleh orang lain. Menurutnya, kedua-duanya berbahaya karena orang kaya akan memikirkan bagaimana mendapatkan uang yang telah diinvestasikan selama kampanye saat duduk di kursi dewan. “Dia akan korupsi sebanyak-banyaknya. Bangsa ini akan hancur,” katanya. Sedangkan, orang yang maju karena didukung para cukong, akan memberikan konsesi kebijakan atau berupa proyek kepada para pemodalnya tersebut.

Karenanya, Inu mencurigai caleg-caleg yang mau menerima dana dari para pengusaha. Masalahnya, wakil rakyat adalah pengawas eksekutif. “Jika ada pengusaha yang mengatur wakil rakyat, ini sama saja dengan maling yang kerja sama dengan satpam,” jelasnya kepada Media Umat.

Analisis Inu itu tidak terlalu berlebihan. Pasti ada 'udang di balik batu' dari setiap dana yang disumbangkan kepada ca-leg/capres. Sosiolog Imam B Prasodjo, mengatakan setiap pengusaha/konglomerat mempunyai hitung-hitungan. Calon yang didukungnya akan jadi atau tidak. ”Kalau prediksinya jadi, ya didukung. Imbalannya yaitu beru-pa undang-undang atau regulasi dan juga proyek-proyek yang bakal menguntungkan konglomerat,” jelasnya.

Hanya saja sangat sulit bisa melacak siapa saja pengusaha kakap yang ada di balik hajatan demokrasi ini. Audit sulit dilakukan. Ketua Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Ahmadi Hadibroto dalam sebuah diskusi di Jakarta mengatakan dana kampanye peserta pemilu 2009 tidak dapat diaudit seluruhnya karena keterbatasan jumlah akuntan publik dan waktu. Jumlah laporan yang laporan dana kampanye yang harus diaudit sekitar 18 ribu, sementara jumlah akuntan publik (AP) yang terdaftar yakni 689 orang.

Tak hanya itu, Sekjen Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tarkosunaryo menjelaskan akuntan tidak memiliki dasar hukum untuk mengaudit laporan dana kampanye calon anggota legislatif karena yang dimaksud dengan peserta pemilu adalah partai politik dan calon anggota DPD. Audit juga tidak dapat dilakukan maksimal karena akuntan hanya dapat mengaudit dana yang dilaporkan saja. "Kami bukan tidak mau mengaudit, tetapi status hukumnya tidak jelas," kata di Jakarta beberapa waktu lalu..

Sekjen Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tarko-sunaryo, di Jakarta, Kamis, meng-ungkapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu legislatif telah menyebut-kan peserta pemilu wajib melaporkan dana kampanye dan rekening khusus dana kampanye pada KPU sesuai tingkatannya. Yang dimaksud dalam peserta pemilu adalah partai politik dan calon anggota DPD.

Mimpi Kesejahteraan

Siapa yang diuntungkan dari proses demokrasi dengan biaya besar ini? Jawabnya sangat mudah. Para pengusaha dan orang-orang yang mau dijadikan kacungnya. Simak saja ke mana produksi alat-alat kampanye dipesan? Siapa yang menikmati kue iklan? Pengusaha. Tapi itu bukan pengusaha kecil di pinggir jalan, namun para pengusaha besar. Rakyat hanya menjadi penonton dan penggembira.

Dalam proses berikutnya, para wakil rakyat itu akan berusaha memulihkan kembali kekayaan yang pernah dikeluarkannya sebagai investasi. Para cukong juga akan menagih janji. Di sinilah kemungkinan penyelewengan terbuka lebar. Menurut Imam, semakin besar biaya kampanye yang dikeluarkan oleh calon anggota DPR, bupati, dan lain-lain, semakin besar kemungkinan untuk korupsi terjadi. Sebaliknya, kian sedikit keuntungan rakyat yang diperoleh. “Karena pada awal-awal tahun itu boro-boro akan memikirkan rakyat tetapi orang yang dipilih rakyat ini akan memikirkan bagaimana mengem-balikan uang yang sudah keluar,” jelasnya.

Tak mengherankan bila Transparansi Indonesia menem-patkan DPR sebagai salah satu sarang korupsi. Menarik disimak data Indonesia Corruption Watch (ICW) dari Januari hingga Desember 2004 mengenai kasus korupsi yang melibatkan anggota Dewan menunjukkan beberapa hal. Pertama, dari sisi jumlah kasus, perbuatan korupsi yang meli-batkan anggota DPRD merupakan jumlah terbanyak, yakni 102 kasus dari total 239 kasus korupsi yang muncul di sebagian besar wilayah di Indonesia.

Data di atas sekaligus hendak menunjukkan bahwa aktor korupsi yang menempati urutan terbesar adalah anggota Dewan. Data ini paralel dengan hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) pada 2004 yang menempatkan partai politik sebagai lembaga yang dianggap paling korup. Dengan demikian, terdapat korelasi yang masuk akal antara kondisi partai politik yang buruk dan perilaku anggota Dewan yang korup. Kedua, secara umum terdapat empat modus korupsi DPRD.

Modus pertama adalah menggelembungkan batas alokasi penerimaan anggota Dewan atau yang lebih akrab disebut mark-up.

Kedua, menggandakan (redundant) item penerimaan anggota Dewan melalui berbagai strategi. Strategi yang paling kerap muncul adalah memasukkan item anggaran yang berbeda-beda untuk satu fungsi.

Modus ketiga adalah mengada-adakan pos penerimaan anggaran yang sebenarnya tidak diatur dalam PP Nomor 110/2000.

Modus keempat adalah korupsi dalam pelaksanaan program kegiatan Dewan. Dari aspek tindakan, korupsi jenis ini adalah korupsi yang paling telanjang dan nyata. Ini sebagaimana telah dilakukan oleh anggota DPRD Kota Padang yang telah memalsukan tiket pesawat perjalanan dinas (SPJ fiktif) hingga mencapai Rp 10,4 milyar.

Di antara keempat modus korupsi tersebut, modus keempat paling umum terjadi. Sedangkan, modus korupsi anggota Dewan yang pertama hingga ketiga merupakan produk kesepakatan dua pihak (eksekutif dan legislatif) dengan memanfaatkan dua hal, kewenangan yang dimiliki untuk membuat peraturan dan celah perundang-undangan yang tumpang-tindih.

Kondisi tak berbeda terjadi pada pihak eksekutif sebab banyak eksekutif adalah para petinggi-petinggi partai. Modusnya tak jauh beda. Ada yang menjadi makelar utang pemerintah maupun penjualan BUMN. Ada yang mengutak-atik anggaran dan sebagainya. Sebagian berkolaborasi dengan pengusaha untuk menggolkan kebijakan pro mereka.

Sementara masyarakat tetap dalam kondisi semula. Janji perubahan tak kunjung tiba. “Tidak ada harapan kesejahteraan dengan model demokrasi yang sekarang ini bagi rakyat. Keadaan tampaknya tidak akan baik,” kata Inu Kencana. Lagi pula, menurut-nya, memang tidak ada hubungan antara demokrasi dan kesejah-teraan. Lebih tegas, ia menyatakan Indonesia masuk ke pelukan kapitalisme. Orang kaya yang menang.

Mengutip pernyataan Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat, bahwa demokrasi kini telah menjadi industri politik. Dengan demikian yang diuntungkan adalah para pemilik modal. Dan itu pas dengan prinsip-prinsip kapitalisme global. Masihkah Anda mengharapkan tetesan kesejahteraannya?

Sumber : [] mujiyanto/www.mediaumat.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar